30 March 2004

Artikel : Menggali Potensi Knowledge dalam Perusahaan

Menggali Potensi Knowledge dalam Perusahaan

Penulis: Lendy Widayana
Dimuat pada Harian Radar Malang tanggal 30 Maret 2004

Banyak organisasi bisnis belum atau tidak mengetahui adanya potensi knowledge (pengetahuan+pengalaman) tersembunyi yang dimiliki oleh karyawannya. Mengapa demikian ? Riset Delphi Group menunjukkan bahwa knowledge dalam organisasi tersimpan dengan struktur : 42 % di pikiran (otak) karyawan, 26 % - dokumen kertas, 20 % -dokumen elektronik, 12% - knowledge base elektronik. Fakta umum ini memang terjadi di mana-mana, bahwa aset knowledge sebagian besar tersimpan dalam pikiran kita, yang disebut sebagai tacit knowledge. Tacit knowledge adalah sesuatu yang kita ketahui dan alami, namun sulit untuk diungkapkan secara jelas dan lengkap. Tacit knowledge sangat sulit dipindahkan kepada orang lain karena knowledge tersebut tersimpan pada pikiran masing-masing individu di dalam organisasi.
KM ada untuk menjawab persoalan ini, yaitu proses mengubah tacit knowledge menjadi knowledge yang mudah dikomunikasikan dan mudah didokumentasikan, yang disebut explicit knowledge. Dokumentasi menjadi sangat penting dalam KM, karena tanpa dokumentasi semuanya akan tetap menjadi tacit knowledge dan knowledge itu menjadi sulit untuk diakses oleh siapapun dan kapanpun dalam organisasi.

Peta knowledge dalam organisasi

Agar potensi knowledge setiap karyawan dapat dimanfaatkan dan dikembangkan, tentu perusahaan memerlukan informasi secara lengkap mengenai aset berharga ini. Sebagai sebuah langkah untuk mendeteksi adanya tacit knowledge ini, perlu dilakukan pendataan lewat kuesioner yang disebar kepada semua orang dalam organisasi. Sebagai contoh, kuesioner dapat berisi : 1) Apakah anda mengetahui bahwa anda mempunyai potensi knowledge yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh organisasi ? 2) Apakah anda mengetahui bahwa rekan kerja (internal maupun eksternal departemen) anda mempunyai potensi pengetahuan dan keahlian yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh organisasi ? 3) Apa kendala dari pertanyaan 1 dan 2 ? Pertanyaan lain selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Seluruh jawaban hasil kuesioner tersebut kemudian dipadukan dengan database karyawan yang tentu telah dimiliki sebelumnya. Dengan langkah ini perusahaan akan mempunyai peta potensi knowledge yang dimilikinya. Secara strategis, seluruh peta dan kategori knowledge ini juga yang menjadi dasar pertimbangan bagi kebijakan rotasi, promosi, mutasi dan sampai dengan berbagai pelatihan karyawan. Pada gilirannya perusahaan semakin dapat memperkuat setiap pos pekerjaan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki oleh karyawannya.

Kategori dan peta knowledge untuk daya saing

Dari peta knowledge yang ada, selanjutnya perusahaan dapat melakukan pengkategorian knowledge yang menurut Michael Zack (1999) ada tiga yaitu : 1) Core knowledge, adalah knowledge inti yang diperlukan sebuah bisnis. Contohnya, jika ingin buka bengkel tentu harus mempunyai mekanik yang handal, peralatan yang lengkap, suku cadang dll. 2) Advanced knowledge, adalah knowledge yang membuat keunggulan bersaing sehingga sekaligus perusahaan dapat mampu berhadapan langsung dengan pesaingnya. Contohnya, selain dapat memperbaiki kendaraan pada umumnya, sebuah bengkel yang terus mengikuti perkembangan teknologi otomotif akan dapat menangani perbaikan kendaraan masa kini yang sebagian besar sudah computerized. Dengan knowledge yang satu atau dua langkah di depan membuat pesaing akan sempoyongan untuk mensejajarkan diri. 3) Innovative knowledge, merupakan knowledge yang membuat perusahaan dapat merubah 'aturan main' dunia bisnis yang digeluti dan membuat perusahaan menjadi pemimpin di bidang bisnisnya. Namun ketiga kategori ini tidak bersifat tetap, perusahaan harus tetap waspada. Sebuah perusahaan yang saat ini berada pada tingkat innovative knowledge, karena adanya cara dan teknologi baru yang diterapkan pesaing dapat merosot menjadi berada di core knowledge sehingga ia kehilangan daya saing. Contoh paling aktual adalah hadirnya teknologi CDMA yang merubah peta persaingan bisnis para operator selular.

Akhirnya, jika kita telah mengetahui kategori knowledge yang ada, selanjutnya kita dapat menentukan peta kebutuhan knowledge yang diperlukan untuk memenangkan pertempuran dengan pesaing.

23 March 2004

Artikel : Mempraktikkan KM

Mempraktikkan KM

Penulis: Lendy Widayana
Dimuat pada Harian Radar Malang tanggal 23 Maret 2004

Ada sementara pendapat yang menyatakan bahwa Knowledge Management (KM) hanya cocok dan diperlukan untuk perusahaan besar. Perusahaan yang padat modal. Perusahaan teknologi tinggi yang serba komputerisasi, dan lain-lain. Pendapat ini sama sekali tidak benar. Di negara-negara yang telah maju sekalipun, KM ada di berbagai ukuran perusahaan. Karena KM memang bukan tergantung dari besat kecilnya perusahaan. Namun dimulai dari hal-hal kecil yang jika diteliti lebih lanjut banyak membutuhkan knowledge (pengetahuan+pengalaman)yang perlu selalu dikembangkan.

Adalah Shari Franey seorang CEO dari Performance Personnel di Ephrata Pennsylvania-AS yang mengatakan 'Jika seorang penjual tidak tahu apa yang telah dilakukan oleh penjual lainnya, kita kehilangan semua knowledge'. Ia berpendapat bahwa KM adalah proses yang digunakan untuk memastikan bahwa jika seseorang tahu kan suatu hal maka semua orang juga perlu tahu tentang hal itu. Sebuah proses pemerataan knowledge yang menegaskan bahwa kepentingan perusahaan adalah di atas kepentingan orang per orang. Contoh ini adalah aplikasi sederhana KM yang menjelaskan sekali lagi bagaimana perlunya proses knowledge-sharing dalam organisasi seperti yang telah disinggung pada tulisan sebelumnya di kolom ini.

Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana secara praktis kita dapat memulai langkah untuk menerapkan KM di organisasi ?

Pertama. Untuk merespons setiap perubahan, bagaimana perusahaan dapat mengetahui tingkat kecerdasaan perusahaan (corporate intelligence) ? Bagaimana kecerdasan perusahaan dapat meningkatkan laba, mind share, kecepatan dalam inovasi, dan time to market yang pendek ? Untuk itu perlu dilakukan pengumpulan data tingkat knowledge yang dimiliki oleh organisasi untuk mencari jawaban setiap orang tentang : Tahu apa yang ia ketahui, Tahu apa yang ia tidak ketahui, Tidak tahu apa yang ia ketahui, Tidak tahu apa yang ia tidak ketahui. Kelompok pertanyaan ini jika dijabarkan akan menjadi sederetan pertanyaan seperti :

a) Apakah anda mengetahui bahwa anda mempunyai potensi knowledge yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh organisasi ? b) Apakah anda mengetahui bahwa rekan kerja (internal maupun external departemen) anda mempunyai potensi pengetahuan dan keahlian yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh organisasi ? c) Apa kendala dari pertanyaan a dan b ? d) Berapa banyak yang anda ketahui bahwa semua orang dalam organisasi tahu bahwa sesuatu harus dilakukan tetapi tidak/belum dilakukan ? " e) Berapa lama kondisi itu telah berlangsung ? " f) Apakah ada pengaruhnya secara langsung terhadap layanan kepada pelanggan ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menerus secara berkala diajukan sampai dengan organisasi dapat memetakan semua potensi knowledge yang masih tersembunyi dalam organisasi.


Kedua. Penulis menyebutnya sebagai aktivitas sharing vision (menjelaskan visi dan misi) dalam bentuk yang mudah dioperasionalisasikan oleh seluruh level dalam organisasi. Untuk menuju perusahaan yang bertumpu pada knowledge, sharing vision mempunyai penekanan membangun dan mengasah kemampuan analisa setiap pesertanya. Oleh karena itu, data dan informasi kondisi perusahaan yang termutakhir sangat berperan untuk keperluan analisa dan keputusan tindakan selanjutnya.

Ketiga. Memberi muatan knowledge setiap fungsi kerja dalam organisasi dengan melihat alur Input-Process-Output (I-P-O). Misalnya, seorang tenaga penjual menerima target penjualan lengkap dengan product knowledge dll-nya. Ini adalah knowledge dasar yang mutlak diperlukan dalam tahap Input alur kerja si penjual. Dalam tahap Process, ia memerlukan bekal knowledge tentang berbagai strategi yang dapat digunakan. Dari berbagai alternatif strategi yang pada tahap proses, pada tahap Output diperlukan knowledge yang langsung siap dipraktekkan dalam melakukan aktivitas penjualan.

Seluruh knowledge yang selalu dikembangkan di setiap tahap I-P-O tersebut diharapkan hasilnya akan membuat orang bekerja dengan cara yang makin cerdas. Yang akan lebih dahsyat lagi dampaknya, jika semua knowledge yang disyaratkan dalam tiap tahap I-P-O dilengkapi dengan ketrampilan untuk menggunakan teknologi informasi sebagai alat bantu.

Pengalaman penulis, bila dilakukan secara konsisten, ketiga langkah awal di atas membuat organisasi akan lebih mempunyai kelenturan terhadap perubahan yang disebabkan oleh tuntutan pasar. Pula dalam waktu yang lebih singkat dapat diluncurkan produk baru yang sesuai dengan keinginan pelanggan.

Sayapun percaya bahwa banyak mutiara tersembunyi dalam organisasi perusahaan Anda, pembaca. Adalah tantangan kita bersama untuk menyelam mencari butir-butir mutiara tadi, untuk kita rangkai menjadi untaian mutiara kecerdasan yang mengalungi organisasi.

16 March 2004

Artikel : Penghargaan bagi mereka yang mau berbagi

Penghargaan Bagi Mereka yang Mau Berbagi

Penulis: Lendy Widayana
Dimuat pada Harian Radar Malang tanggal 17 Maret 2004

Inti dari Knowledge Management (KM) adalah sistem yang membuat agar pertukaran dan transformasi knowledge (pengetahuan+pengalaman) di antara semua pelaku organisasi akhirnya dapat menjadi nafas organisasi. Pada kesempatan ini penulis ingin berbagi pengalaman bagaimana embrio aktivitas KM di organisasi tempat penulis bekerja.

Setiap enam bulan kami di Ciputra Cyber Institute (CCI) mengadakan penilaian rekan kerja satu departemen maupun lintas departemen tentang knowledge-sharing (berbagi pengetahuan+pengalaman). Penilaian itu dilaksanakan melalui polling dari semua karyawan dan manajemen untuk menilai siapa di antara mereka yang dianggap paling sering berbagi knowledge. Tentunya knowledge yang dapat langsung diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pekerjaan yang dihadapi oleh sesama rekan kerja. Penilaian juga dilakukan untuk inovasi yang lahir dalam periode yang sama.

Bagi siapa yang mendapat nilai tertinggi mendapat pengakuan berupa penghargaan dari perusahaan. Bentuk penghargaan ini bisa berbagai macam. Namun penghargaan yang baik adalah berupa sesuatu yang berguna bagi sang pemenang untuk juga memecahkan masalah pekerjaannya. Pengalaman di beberapa perusahaan lain ada yang memberi bonus berupa uang, mengikuti berbagai training/seminar yang bermutu tinggi, buku, paket wisata dan lain-lain.

Pada tahap perkembangan selanjutnya, sistem penilaian dan penghargaan knowledge-sharing ini dapat dijadikan satu dengan sistem penilaian kinerja karyawan (performance appraisal) dan hal-hal lain yang merupakan wujud dari apresiasi manajemen terhadap aset knowledge secara obyektif.


Memulai kegiatan knowledge-sharing

Memang pada dasarnya aktivitas knowledge-sharing bahkan telah menjadi kebiasaan tanpa disadari sudah terjadi dalam organisasi. Juga di Indonesia, nongkrong sesama kolega di café, resto, ngobrol dan lobby ketika rehat di acara seminar, sampai nongkrong bareng di diskotik atau karaoke bagi sesama profesional atau networking sesama profesi adalah juga knowledge-sharing. Akan tetapi menjadikan knowledge-sharing sebagai budaya organisasi agar knowledge tersebut dapat tersimpan rapi, terdokumentasi dengan struktur yang sistematis sehingga mudah untuk diakses kembali bukanlah pekerjaan yang mudah.

Pada saat awal mensosialisasikan perlunya aktivitas knowledge-sharing dalam KM akan sering timbul pertanyaan, "Apa untungnya bagi saya untuk berbagi dengan yang lain ?" Dan "Apakah orang lain juga mau berbagi seperti yang saya lakukan ?" Menurut Vaas, 1999, alasan mengapa orang tidak mau melakukan knowledge-sharing adalah :

1. Mau berbagi pengetahuan namun tidak cukup waktu untuk itu

2. Tidak mempunyai ketrampilan dalam KM

3. Tidak mengerti tentang KM dan manfaatnya

4. Tidak ada komitmen dari manajer senior

5. Tidak ada dana untuk KM

6. Kegagalan untuk mendorong knowledge-sharing sebagai budaya

Dari beberapa poin tadi, maka pra kondisi yang perlu dilakukan oleh organisasi sebelum menciptakan budaya knowledge-sharing adalah membangun iklim saling percaya (trust) di setiap pelakunya. Kepercayaan ini akan terbentuk apabila didahului dengan kepeloporan dan keteladanan dari para pemimpin dan petinggi organisasi untuk memulai berbagi knowledge. Kepeloporan dan keteladanan ini dapat dilakukan melalui pembuktian bahwa dengan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman, semua masalah dapat dipecahkan secara lebih mudah, efisien dan cepat. Kepemimpinan dalam KM adalah secara terus menerus dan konsisten memberi inspirasi kepada karyawan tentang aktivitas dan manfaat KM secara nyata bagi semua elemen organisasi. Pemimpin harus menciptakan iklim bahwa seorang karyawan tidak lagi merasa sendirian dalam memecahkan masalah apapun dalam pekerjaan.

Membangun aset knowledge memang baru akan nampak hasil dan manfaatnya apabila kita telah berhasil menjadikan knowledge sebagai bahtera yang akan mengantarkan organisasi mencapai pulau tujuannya.

09 March 2004

Artikel : Memajukan Perusahaan dengan Knowledge

Memajukan Perusahaan dengan Knowledge

Penulis: Lendy Widayana
Dimuat pada Harian Radar Malang tanggal 09 Maret 2004


Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan diundang untuk berbagi pengalaman tentang Knowledge Management dalam sebuah seminar di Jakarta. Dalam kesempatan itu, rekan saya seorang Presiden Direktur perwakilan di Indonesia sebuah perusahaan teknologi informasi papan atas dunia mengaku terus terang, bahwa pelanggannya saat ini sering lebih tahu tentang produk perusahaannya ketimbang system engineer produk teknologi itu sendiri.


Dalam dunia bisnis, kecepatan dan banyaknya sumber informasi membuat pelanggan menjadi semakin cerdas dan kritis. Lalu apakah keadaan ini merupakan ancaman bagi kelangsungan sebuah bisnis ? Jawabannya bisa ya dan tidak. Ya, jika perusahaan tidak dapat terus memenuhi tuntutan pelanggan. Tidak, bila perusahaan segera menyusun kekuatan knowledge (pengetahuan + pengalaman) dan memposisikan knowledge sebagai aset utama untuk menghasilkan solusi bagi pelanggan. Kata kunci untuk membangun knowledge adalah selalu belajar dari berbagai sumber pengetahuan. Namun belajar pun tidak cukup jika tidak segera diikuti dengan menambah 'jam terbang' penerapan pengetahuan itu. Pengalaman menerapkan pengetahuan baru akan menambah nilai knowledge menjadi semakin tinggi. Dengan demikian siklus membangun knowledge terbentuk seperti bawah ini.


1. Belajar (dari berbagai sumber pengetahuan)


2. Menjadi Pengetahuan dan dianalisa


3. Bertindak/Menerapkan


4. Hasil tindakan (Gagal/Sukses)


5. Pengalaman


6. Hasil pengalaman menjadi pengetahuan yang telah diperbarui


Tuntutan untuk selalu belajar di era informasi yang semakin cepat dan deras ini adalah suatu kebutuhan yang tidak terelakkan lagi bagi siapapun. Pengetahuan, keahlian, dan keterampilan yang kita miliki terasa menjadi semakin cepat usang jika tidak selalu kita perbarui. Keadaan serba cepat inipun menuntut perubahan atau bahkan revolusi dalam cara belajar yang dimulai paling tidak dari diri kita sendiri. Pertanyaannya, bagaimanakah perubahan yang perlu dilakukan ? Karena berbagai perubahan di jaman ini disebabkan oleh kecepatan informasi, maka cara belajar yang paling efektif adalah mengikuti irama kecepatan informasi itu sendiri dan menganalisanya dalam waktu yang cepat pula. Kecepatan menganalisa informasi pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas tindakan kita berdasarkan informasi itu.


Membongkar sekat arus pengetahuan.


Perubahan bahkan yang sangat radikal dalam alur kerja organisasi bisnis menuntut keberanian dari pemimpin organisasi itu. Menarik menimba cerita pengalaman dari seorang CEO bernama Lars Kolind, pada sebuah perusahaan alat bantu pendengaran di Denmark bernama Oticon. Tahun 1980 Oticon mengalami penurunan penjualan karena tidak dapat bersaing dengan produk inovatif pesaingnya. Tahun 1990, Lars Kolind menyadari bahwa kunci sukses adalah inovasi dan waktu yang cepat untuk menyerahkan produk ke pasar. Untuk itu Lars Kolind mengabaikan struktur organisasi yang kaku bahkan sampai job description pun ditinjau kembali orientasinya. Karyawan dibuat sesukanya memilih fungsi pekerjaan yang sesuai dengan apa yang mereka sangat minati dan kuasai. Mereka semua bekerja secara matriks dalam lintas fungsi. Bangunan kantor dibuat sedemikian rupa agar memperlancar komunikasi antara bagian perancangan dan manufaktur. Orientasi cara kerja diubah menjadi terfokus pada alur pertukaran knowledge. Satu sama lain saling belajar untuk memahami keadaan yang sebenarnya dari tuntutan pasar, baik itu permintaan pelanggan maupun gerak-gerik pesaing. Karyawan diajak berpikir dan bertindak sebagaimana layaknya seorang wiraswasta. Artinya, dimensi pemikiran dan tindakannya tidak bisa lagi terkotak-kotak dalam fungsi dan tugas bagiannya sendiri. Melainkan semua memandang bahwa kepentingan profit perusahaan adalah tanggung jawab semua pihak. Pertukaran knowledge (knowledge-sharing) dijadikan suatu budaya untuk menghasilkan inovasi. Walhasil Oticon sukses menciptakan dan melempar produk inovatif ke pasar dengan cepat, di antaranya alat bantu pendengaran digital. Oticon pun dapat meningkatkan nilai ROE (Return On Equity) perusahaan yang pada akhir tahun 1980-an hanya satu digit, menjadi lebih dari 25 % di tahun 1990-an.


Apakah contoh di atas sulit untuk ditiru ? Tentu tidak, karena membangun knowledge organisasi perusahaan tidak membutuhkan modal kapital yang besar, namun hanya modal kemauan yang besar untuk selalu maju, mengkomunikasikan maksud baik untuk maju, dan siap berubah. Berbagi knowledge tidak akan membuat seseorang akan kehilangan kekuasaan atau kekuatannya. Bayangkan jika semua orang melakukannya. Lambat laun kita akan menyadari bahwa aset knowledge adalah aset terbesar kita. Bukan lagi sumber daya fisik dan materi yang membuat orang hanyut dalam materialisme sehingga melupakan hakekat kita sebagai manusia.