09 March 2004

Artikel : Memajukan Perusahaan dengan Knowledge

Memajukan Perusahaan dengan Knowledge

Penulis: Lendy Widayana
Dimuat pada Harian Radar Malang tanggal 09 Maret 2004


Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan diundang untuk berbagi pengalaman tentang Knowledge Management dalam sebuah seminar di Jakarta. Dalam kesempatan itu, rekan saya seorang Presiden Direktur perwakilan di Indonesia sebuah perusahaan teknologi informasi papan atas dunia mengaku terus terang, bahwa pelanggannya saat ini sering lebih tahu tentang produk perusahaannya ketimbang system engineer produk teknologi itu sendiri.


Dalam dunia bisnis, kecepatan dan banyaknya sumber informasi membuat pelanggan menjadi semakin cerdas dan kritis. Lalu apakah keadaan ini merupakan ancaman bagi kelangsungan sebuah bisnis ? Jawabannya bisa ya dan tidak. Ya, jika perusahaan tidak dapat terus memenuhi tuntutan pelanggan. Tidak, bila perusahaan segera menyusun kekuatan knowledge (pengetahuan + pengalaman) dan memposisikan knowledge sebagai aset utama untuk menghasilkan solusi bagi pelanggan. Kata kunci untuk membangun knowledge adalah selalu belajar dari berbagai sumber pengetahuan. Namun belajar pun tidak cukup jika tidak segera diikuti dengan menambah 'jam terbang' penerapan pengetahuan itu. Pengalaman menerapkan pengetahuan baru akan menambah nilai knowledge menjadi semakin tinggi. Dengan demikian siklus membangun knowledge terbentuk seperti bawah ini.


1. Belajar (dari berbagai sumber pengetahuan)


2. Menjadi Pengetahuan dan dianalisa


3. Bertindak/Menerapkan


4. Hasil tindakan (Gagal/Sukses)


5. Pengalaman


6. Hasil pengalaman menjadi pengetahuan yang telah diperbarui


Tuntutan untuk selalu belajar di era informasi yang semakin cepat dan deras ini adalah suatu kebutuhan yang tidak terelakkan lagi bagi siapapun. Pengetahuan, keahlian, dan keterampilan yang kita miliki terasa menjadi semakin cepat usang jika tidak selalu kita perbarui. Keadaan serba cepat inipun menuntut perubahan atau bahkan revolusi dalam cara belajar yang dimulai paling tidak dari diri kita sendiri. Pertanyaannya, bagaimanakah perubahan yang perlu dilakukan ? Karena berbagai perubahan di jaman ini disebabkan oleh kecepatan informasi, maka cara belajar yang paling efektif adalah mengikuti irama kecepatan informasi itu sendiri dan menganalisanya dalam waktu yang cepat pula. Kecepatan menganalisa informasi pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas tindakan kita berdasarkan informasi itu.


Membongkar sekat arus pengetahuan.


Perubahan bahkan yang sangat radikal dalam alur kerja organisasi bisnis menuntut keberanian dari pemimpin organisasi itu. Menarik menimba cerita pengalaman dari seorang CEO bernama Lars Kolind, pada sebuah perusahaan alat bantu pendengaran di Denmark bernama Oticon. Tahun 1980 Oticon mengalami penurunan penjualan karena tidak dapat bersaing dengan produk inovatif pesaingnya. Tahun 1990, Lars Kolind menyadari bahwa kunci sukses adalah inovasi dan waktu yang cepat untuk menyerahkan produk ke pasar. Untuk itu Lars Kolind mengabaikan struktur organisasi yang kaku bahkan sampai job description pun ditinjau kembali orientasinya. Karyawan dibuat sesukanya memilih fungsi pekerjaan yang sesuai dengan apa yang mereka sangat minati dan kuasai. Mereka semua bekerja secara matriks dalam lintas fungsi. Bangunan kantor dibuat sedemikian rupa agar memperlancar komunikasi antara bagian perancangan dan manufaktur. Orientasi cara kerja diubah menjadi terfokus pada alur pertukaran knowledge. Satu sama lain saling belajar untuk memahami keadaan yang sebenarnya dari tuntutan pasar, baik itu permintaan pelanggan maupun gerak-gerik pesaing. Karyawan diajak berpikir dan bertindak sebagaimana layaknya seorang wiraswasta. Artinya, dimensi pemikiran dan tindakannya tidak bisa lagi terkotak-kotak dalam fungsi dan tugas bagiannya sendiri. Melainkan semua memandang bahwa kepentingan profit perusahaan adalah tanggung jawab semua pihak. Pertukaran knowledge (knowledge-sharing) dijadikan suatu budaya untuk menghasilkan inovasi. Walhasil Oticon sukses menciptakan dan melempar produk inovatif ke pasar dengan cepat, di antaranya alat bantu pendengaran digital. Oticon pun dapat meningkatkan nilai ROE (Return On Equity) perusahaan yang pada akhir tahun 1980-an hanya satu digit, menjadi lebih dari 25 % di tahun 1990-an.


Apakah contoh di atas sulit untuk ditiru ? Tentu tidak, karena membangun knowledge organisasi perusahaan tidak membutuhkan modal kapital yang besar, namun hanya modal kemauan yang besar untuk selalu maju, mengkomunikasikan maksud baik untuk maju, dan siap berubah. Berbagi knowledge tidak akan membuat seseorang akan kehilangan kekuasaan atau kekuatannya. Bayangkan jika semua orang melakukannya. Lambat laun kita akan menyadari bahwa aset knowledge adalah aset terbesar kita. Bukan lagi sumber daya fisik dan materi yang membuat orang hanyut dalam materialisme sehingga melupakan hakekat kita sebagai manusia.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home