19 May 2004

Artikel : KM dan Kepuasan Pelanggan

KM dan Kepuasan Pelanggan

Penulis: Lendy Widayana
Dimuat pada Harian Radar Malang

Dalam kolom ini bulan Maret 2004, penulis pernah menguraikan pendapat Michael Zack (1999) tentang tiga pilar knowledge dalam organisasi untuk menghasilkan daya saing, yaitu : 1) knowledge inti yang diperlukan sebuah bisnis (Core knowledge), 2) knowledge yang membuat keunggulan bersaing sehingga sekaligus perusahaan dapat mampu berhadapan langsung dengan pesaingnya (Advanced knowledge), 3) knowledge yang membuat perusahaan dapat merubah 'aturan main' dunia bisnis yang digeluti dan membuat perusahaan menjadi pemimpin di bidang bisnisnya (Innovative knowledge).

Knowledge (pengetahuan + pengalaman) adalah sesuatu yang berkembang. Ia tidak statis. Ibarat sebuah pohon dapat menghasilkan buah yang berkualitas jika tanahnya diolah dan diberi pupuk secara teratur. Demikian pula dalam organisasi yang mengandalkan knowledge, pelatihan dan pembelajaran yang berkesinambungan adalah nutrisi bagi organisasi.

Seluruh kepala bagian/departemen menganalisa dan melakukan pemetaan kembali potensi knowledge sumber daya manusia di jajarannya. Knowledge yang perlu dianalisa adalah yang berhubungan dengan : 1)pelaksanaan tugas pokoknya, 2)persepsi karyawan terhadap pelanggan internal perusahaan maupun eksternal (pasar). Knowledge untuk tugas pokok adalah knowledge yang disyaratkan untuk melaksanakan semua pekerjaan secara maksimal. Jika sebuah pekerjaan memerlukan alat bantu teknologi informasi, maka penguasaan semua aspek penggunaan teknologi juga merupakan ketrampilan dan knowledge yang disyaratkan. Sedangkan persepsi karyawan terhadap pelanggan adalah, bagaimana karyawan dalam setiap fungsi memahami pentingnya pelanggan, dan bagaimana sikap serta kualitas kerja yang diharapkan oleh pelanggan.

Ada tiga jenis pelatihan yang perlu terus dilakukan untuk 'penyegaran' dalam organisasi, yang masing-masing bertujuan : 1)membentuk persepsi yang utuh tentang sistem dan mekanisme kerja yang harus dilakukan, 2) mengenal dinamika perubahan pasar dan tuntutan pelanggan, 3)melatih penggunaan teknologi informasi sebagai alat bantu demi berjalannya sistem dan mekanisme kerja yang ada. Tanpa ketiga jenis pelatihan tersebut, mengakibatkan karyawan tidak akan memahami bagaimana seluruh rantai kerja dalam organisasi berikut konsekuensi logis dan dinamikanya, lalu perusahaan menjadi kurang berorientasi pada pelanggan dan investasi pada teknologi informasi sudah pasti tidak akan bermanfaat secara maksimal.

12 May 2004

Artikel : Mengelola Informasi Untuk Perusahaan

Mengelola Informasi Untuk Perusahaan

Penulis: Lendy Widayana
Dimuat pada Harian Radar Malang

Kita semua memahami bahwa informasi yang akurat, lengkap dan cepat akan mempengaruhi kualitas setiap pengambilan keputusan. Informasi adalah darah yang mengaliri (lifeblood) setiap detak nadi perusahaan/organisasi. Teknologi informasi dan komunikasi saat ini membuat semuanya menjadi semakin serba cepat, sehingga keputusan-pun dapat diambil dalam waktu yang lebih singkat. Seorang pimpinan perusahaan yang tadinya baru mengetahui kondisi perusahaan sebulan sekali namun karena teknologi informasi dan komunikasi ia dapat mengetahui kondisi 'kesehatan' perusahaan setiap hari. Kelakarnya, stress yang sebelumnya terjadi dalam periode bulanan, kini hadir dalam hitungan hari. Dalam konteks persaingan perusahaan, informasi yang cepat, harus diikuti dengan respons tindakan yang cepat. Jika tidak, pesaing akan selalu berada sekian langkah di depan kita.

Knowledge Management (KM) adalah sistem yang diciptakan agar knowledge (pengetahuan+pengalaman) organisasi dapat selalu terdokumentasi dan dapat diambil dengan cepat. Tujuannya, agar perusahaan tidak selalu mengulangi aktivitas yang sama secara berulang-ulang yang akan banyak menyita waktu, biaya dan kehilangan kesempatan. Contoh paling mudah dari penerapan prinsip ini adalah ketika perusahaan baru saja merekrut karyawan baru untuk posisi pemasaran. Seorang karyawan baru selain dibekali dengan daftar uraian tugas dan tanggung jawab (job description) dan serangkaian pelatihan tentang tugas pokoknya, lebih dari itu ia memerlukan seperangkat knowledge perusahaan dalam menghadapi pasar riil selama ini. Apabila dokumentasi knowledge perusahaan tersedia dan membentuk apa yang disebut sebagai memori organisasi (organizational memory), si karyawan baru itu akan lebih cepat dan mudah belajar serta berdaptasi dengan tuntutan pekerjaannya. Memori organisasi yang terdokumentasi juga bermanfaat agar setiap orang dapat belajar dan menghindari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan organisasi pada masa lalu. Oleh karena itu, apabila memori organisasi dapat mencakup semua fungsi dalam perusahaan, melalui evaluasi yang menyeluruh akan diperoleh kesimpulan bahwa ternyata banyak aktivitas baru yang tidak selalu harus dimulai dari nol, sehingga sebenarnya banyak hal yang dapat dihemat. Pada gilirannya, waktu dan biaya akan dapat difokuskan untuk meningkatkan kemampuan inovasi produk atau jasa perusahaan kepada pelanggan.

Iklim inovasi dalam perusahaan

Jika efisiensi waktu dalam bekerja telah tercapai sehingga waktu yang tersedia dapat dialokasikan untuk melakukan inovasi, sejalan dengan itu upaya yang dilakukan adalah penciptaan iklim yang inovatif dalam perusahaan. Seorang pemimpin perusahaan perlu menyadari bahwa iklim yang inovatif tidak datang begitu saja. Menurut J.P.J De Jong dan R. Kemp (2003) kondisi-kondisi yang mendorong inovasi dalam perusahaan adalah : 1) Selalu ada tantangan kerja, 2) Keleluasaan untuk menentukan cara kerja yang berorientasi pada hasil, 3) Arah yang jelas dari perusahaan, 4) Iklim yang selalu mendukung gagasan baru, 5) Kontak eksternal yang intensif dengan pelanggan, rekanan, pemasok, bahkan pesaing, 6) Identitas perbedaan yang jelas dengan pesaing, 7) Adanya permintaan (demand) yang selalu bervariasi.

Dalam iklim yang inovatif untuk menghasilkan produk atau jasa secara lebih baik, lebih murah dan lebih cepat, perubahan adalah denyut nadi organisasi. Kalau tidak ada yang berubah, tidak ada hal baru setiap hari, gairah kerja akan menjadi menurun. Hal ini berbeda dengan kondisi organisasi yang umumnya bersifat statis dan takut melakukan perubahan, karena memang harus diakui pula bahwa seluruh tuntutan perubahan pada umumnya akan membuat rasa kurang nyaman dalam atmosfir organisasi. Ibarat awak kabin pesawat udara yang terlatih, dalam keadaan segenting apapun ia harus dapat dapat menenangkan semua penumpang yang ada di dalam pesawat, maka seorang pemimpin dalam organisasi secara kontinyu harus dapat memberi semangat sekaligus ketenangan dan pengertian bahwa organisasi hidup di alam yang selalu berubah.

05 May 2004

Artikel : Menggalang Peranserta dan Kepedulian dalam Perusahaan

Menggalang Peranserta dan Kepedulian dalam Perusahaan

Penulis: Lendy Widayana
Dimuat pada Harian Radar Malang tanggal 05 Mei 2004

Tidak bedanya di perusahaan besar atau kecil, dalam Knowledge Management (KM) yang bertumpu pada budaya knowledge-sharing (saling berbagi knowledge), hambatan terbentuknya budaya ini harus dihilangkan terlebih dahulu. Salah satu hambatan yang sering ditemui adalah lemahnya peranserta dan kepedulian seluruh karyawan akan hari esok perusahaan. Waltraut Ritter, President of Hong Kong Knowledge Management Society ketika sempat bertandang ke tempat kerja saya beberapa waktu lalu mengatakan bahwa budaya paternalistik di Asia membuat karyawan terbiasa untuk selalu meminta petunjuk atasan untuk melakukan suatu pekerjaan. Kebiasaan ini menyebabkan karyawan rikuh untuk berkreasi. Rikuh terhadap atasan karena takut salah atau dianggap sok tau. Dan kepada sesama rekan kerja karena takut dianggap cari muka.

Memang tidak ada cara yang baku untuk membentuk suatu kekuatan kerja berdasarkan knowledge di suatu perusahaan. Namun perusahaan perlu menciptakan iklim yang mendorong agar setiap karyawan dapat berlatih dalam proses berpikir dan dan meningkatkan kreativitasnya. Langkah taktis yang dapat dilakukan perusahaan adalah melakukan sigi (survei) tentang persepsi seluruh karyawan terhadap apa yang menjadi SWOT (Strength-kekuatan, Weakness-kelemahan, Opportunity-peluang, Threat-ancaman) bagi perusahaan. Seluruh hasil sigi kemudian dapat dijadikan bahan diskusi kelompok berdasarkan persamaan atau perbedaan pandangan yang berkembang. Diskusi inilah merupakan bahan pemicu awal knowledge-sharing. Tindak lanjut dari diskusi adalah mempraktikkan seluruh kesepakatan hasil diskusi yang kemudian dievaluasi dalam kegiatan knowledge-sharing berikutnya. Seluruh aktivitas ini selanjutnya dapat dijadikan kegiatan rutin perusahaan.

Komunitas praktisi

Setelah aktivitas knowledge-sharing telah bergulir, seluruh kegiatan tersebut akan lebih mudah pelaksanaannya jika dibentuk apa yang dinamakan komunitas praktisi (Community of Practice - CoP). CoP merupakan forum yang mempertemukan semua fungsi dalam organisasi untuk menggodok berbagai knowledge dengan tujuan memecahkan berbagai masalah dan menghasilkan inovasi perusahaan. Sesuai dengan namanya, CoP berorientasi pada pertukaran pengalaman praktek-praktek (best practices) terbaik yang telah dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu partisipasi aktif anggota sangat menentukan kualitas dari CoP.

CoP tidak merubah struktur organisasi, karena CoP bersifat informal, namun keberadaannya diakui dan mendapat dukungan penuh dari perusahaan. Agar anggota CoP bebas berdiskusi dan mengekspresikan pendapat dan pengalamannya, semua peserta diminta melepas semua atribut jabatan dan fungsi di organisasi. Seluruh hasil CoP ditujukan untuk kepentingan salah satu fungsi atau seluruh bagian dalam organisasi.

Tidak cukup dengan teori.

Dalam KM memang kita tidak cukup hanya mengandalkan teori.
Sebagian besar teori dan kumpulan pengalaman mempraktikkan KM dari negara-negara maju juga tidak dapat secara serta merta diterapkan dalam organisasi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena banyaknya perbedaan budaya, jenis usaha, kesiapan infrastruktur komunikasi dan informasi suatu wilayah dan tingkat melek terhadap teknologi informasi. Pola pikir dan tindakan yang diperlukan adalah, teori sebagai pijakan awal, lalu disesuaikan dengan budaya setempat, dipraktikkan dan kumpulan praktek terbaik akan dengan cepat akan membentuk teori baru yang sesuai dengan kondisi di mana kita berada.

Iklim peranserta karyawan dan persaingan yang sehat dalam perusahaan memang harus diciptakan oleh manajemen perusahaan, karena iklim ini tidak terbentuk dengan sendirinya. Budaya paternalis sangat kental dengan keteladanan pimpinan sebagai pelopor perubahan. Kebijakan yang diambil oleh pimpinan perusahaan makin menuntut knowledge yang makin beragam. Pada gilirannya pemimpin memerlukan wisdom (kebijaksanaan) management yang didasarkan atas knowledge, seperti yang saya sampaikan sebagai umpan balik kepada Waltraut Ritter, dan ia pun mengiyakan.